Selamat datang di Suara Sejarah Indonesia, tempat di mana kita membuka lembar-lembar kisah yang jarang tersentuh dan dibicarakan. Hari ini, kita akan membawamu ke tahun 1940-an… ke masa ketika kain batik bukan hanya pakaian indah, tapi senjata rahasia dalam perjuangan melawan pendudukan Jepang.
"Pekalongan, Lasem, Solo. Di balik aroma malam batik dan suara canting yang mencoret kain, para perajin diam-diam merancang sesuatu yang lebih dari sekadar motif. Mereka menciptakan… batik sandi. Kain yang menyimpan pesan rahasia untuk pejuang kemerdekaan."
Cara kerjanya sederhana, tapi brilian. Titik-titik dan garis dalam motif geometris diubah menjadi kode angka dan huruf. Warna utama kain bisa menunjukkan waktu pertemuan — biru untuk siang, merah untuk malam. Bahkan arah miring daun dalam motif bisa berarti arah lokasi pertemuan.
Kain batik ini tidak pernah dikirim lewat surat. Ia dibawa oleh pedagang keliling atau pembeli dari luar kota. Sampai di tangan penerima, kode itu dibaca… dan kainnya digunakan seperti biasa. Tidak ada yang curiga.
Salah satu pembatik tua di Pekalongan, yang diwawancarai pada tahun 1970-an, pernah berkata: ‘Canting kami bukan hanya untuk menggambar bunga… tapi untuk menulis kemerdekaan.’ Kalimat itu… masih terasa membekas.
Selembar batik mungkin tampak biasa di mata orang awam. Tapi di tangan para pembatik pejuang, ia adalah surat yang tak pernah dibaca musuh… dan janji yang dijahit untuk sebuah bangsa merdeka.
Terima kasih sudah mendengarkan podcast "Suara Sejarah Indonesia". Jika kamu suka dengan podcast ini, bagikan ke teman-temanmu dan subscribe. Sampai jumpa di episode berikutnya.
Lihat Selengkapnya Google News
Might like this
Ebook Collection
Laskar Pelangi
Novel ini bercerita tentang anak-anak miskin di Belitung yang bersekolah di SD Muhammadiyah, hampir ditutup karena kekurangan murid.