tragedi rawagede

Halo pendengar, selamat datang di “Suara Sejarah Indonesia”, podcast yang membahas sisi-sisi kelam sejarah Indonesia yang jarang diungkap.

Di episode kali ini, kita akan mengangkat satu peristiwa berdarah yang nyaris dilupakan: Tragedi Rawagede.
Sebuah pembantaian oleh tentara Belanda, hanya dua tahun setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.

LATAR BELAKANG


Tahun 1947, Indonesia masih berjuang mempertahankan kemerdekaannya dari Belanda, yang ingin kembali menjajah melalui agresi militer.

Desa Rawagede, yang kini dikenal sebagai Balongsari di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, menjadi sasaran tentara Belanda karena diduga menyembunyikan pejuang gerilya, salah satunya Kapten Lukas Kustaryo dari Divisi Siliwangi.
Namun, dugaan itu dibayar sangat mahal oleh warga desa.

KRONOLOGI TRAGEDI


Tanggal 9 Desember 1947, sekitar 300 tentara Belanda mengepung Rawagede. Mereka menggeledah rumah-rumah, mencari pejuang yang tidak mereka temukan.
Para pria desa dipaksa berkumpul di lapangan. Perempuan dan anak-anak dipisahkan.

Lalu, tanpa ampun… satu per satu pria-pria itu ditembak mati, tanpa proses hukum, tanpa pembelaan.
Warga yang mencoba lari… ditembak.
Yang bersembunyi… ditemukan dan dibunuh.
Data resmi Indonesia mencatat 431 orang tewas, hampir semua laki-laki dewasa di desa itu. Sebagian besar tidak bersenjata.
Satu generasi habis dalam satu pagi.

DIAMNYA SEJARAH


Peristiwa ini sempat dilaporkan oleh Komisi Tiga Negara, yang dibentuk oleh PBB. Mereka menyebutnya pelanggaran hukum perang.
Namun, karena Indonesia saat itu belum diakui sepenuhnya sebagai negara merdeka, Belanda lolos dari pengadilan internasional.
Selama puluhan tahun, tragedi ini nyaris tak masuk buku pelajaran sejarah. Tak ada monumen besar. Tak ada hari peringatan nasional.
Rawagede jadi nama yang dilupakan… oleh banyak orang.

PERMINTAAN MAAF TERLAMBAT...


Baru pada 2011, lebih dari 60 tahun setelah tragedi terjadi, Pemerintah Belanda menyampaikan permintaan maaf resmi.
Mereka juga memberi kompensasi kepada keluarga korban, masing-masing sekitar 20 ribu euro.
Tapi, apakah uang bisa menghapus trauma?
Apakah permintaan maaf bisa menggantikan suami, ayah, atau anak yang direnggut peluru?

Tragedi Rawagede bukan hanya kisah masa lalu. Ia adalah pengingat bahwa perjuangan kemerdekaan tak hanya soal perang, tapi juga soal luka—yang disembunyikan, ditinggalkan, lalu nyaris dilupakan.

Sebagai generasi penerus, kita punya tanggung jawab untuk mengingat, mencatat, dan menyuarakan peristiwa seperti ini.
Agar tidak terulang.
Agar sejarah bukan hanya soal pahlawan, tapi juga soal korban yang tak sempat bicara.

Terima kasih sudah mendengarkan “Suara Sejarah Indonesia”.
Jika kamu merasa episode ini penting, bagikan ke teman atau keluargamu.
Sampai jumpa di episode berikutnya.

Lihat Selengkapnya
Google News

Might like this

Ebook Collection