tragedi sambas dan sampit

Halo, selamat datang di Suara Sejarah Indonesia, podcast yang mengangkat kisah-kisah kelam dan terlupakan dari sejarah Indonesia.

Di episode kali ini, kita akan membahas dua tragedi besar yang jarang dibicarakan secara terbuka: Kerusuhan Sambas (1997–1999) dan Kerusuhan Sampit (2001) — dua konflik berdarah yang mengguncang Kalimantan, dan menyisakan luka panjang bagi ribuan keluarga.

Latar Belakang Konflik


Indonesia dikenal sebagai negeri yang kaya akan budaya dan suku bangsa. Tapi, sejarah kita juga diwarnai oleh konflik antaretnis. Salah satu yang paling mematikan terjadi di Kalimantan, antara etnis Dayak dan Melayu versus etnis Madura.

Sejak era Orde Baru, pemerintah menjalankan program transmigrasi besar-besaran. Ratusan ribu orang Madura dipindahkan ke Kalimantan — terutama ke Kalimantan Barat dan Tengah — untuk mengurangi kepadatan penduduk di Jawa dan Madura.

Namun, program ini tak disertai integrasi budaya yang baik. Perbedaan adat, bahasa, dan gaya hidup menciptakan gesekan. Madura dianggap agresif dan kompetitif, sementara suku lokal merasa tergusur.
Dan konflik pun akhirnya meledak.

Tragedi Sambas (1997–1999)


Kerusuhan pertama pecah di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, tahun 1997. Dipicu oleh kasus kekerasan kecil, situasi segera berubah jadi pembantaian massal terhadap etnis Madura.

Aliansi antara warga Melayu Sambas dan Dayak menyerang permukiman Madura. Rumah dibakar. Jalanan dipenuhi mayat. Banyak korban dibunuh secara brutal — bahkan dimutilasi.

Satu hal yang menyayat hati: sebagian besar korban adalah warga sipil biasa — petani, ibu rumah tangga, anak-anak.

Hingga hari ini, jumlah korban pasti tak pernah diumumkan secara resmi. Laporan independen menyebut ribuan orang tewas, dan puluhan ribu mengungsi ke luar Kalimantan.

Tragedi Sampit (2001)


Dua tahun setelah tragedi Sambas mereda, api dendam kembali menyala — kali ini di Kota Sampit, Kalimantan Tengah, tahun 2001. Lagi-lagi, konflik dimulai dari perselisihan antarwarga. Tapi trauma dari tragedi sebelumnya membuat situasi cepat meledak.

Dalam waktu singkat, warga Dayak menyerbu kampung-kampung Madura. Mereka menggunakan parang, tombak, dan senjata tradisional. Banyak korban dipenggal, dan kepala mereka dipajang di tempat umum — sebagai bentuk peringatan.

Kekejaman ini mengejutkan nasional dan internasional. Tapi pemerintah pusat lambat merespons. Saat militer akhirnya turun tangan, lebih dari 500 orang sudah tewas, dan sekitar 100.000 warga Madura harus mengungsi ke luar daerah.

Mengapa Kita Tidak Tahu?


Jawabannya rumit.
Pertama, konflik ini sangat sensitif secara etnis dan politik. Negara cenderung menyensor atau menyamarkan tragedi yang dianggap bisa membakar kembali api konflik.

Kedua, dokumentasi minim, dan banyak korban takut bersuara karena trauma dan stigma. Dan yang ketiga, Indonesia belum punya tradisi rekonsiliasi dan pengakuan sejarah seperti negara lain.

Dua puluh tahun telah berlalu. Tapi luka tragedi Sambas dan Sampit masih terasa di hati mereka yang selamat — dan mereka yang kehilangan.
Mereka tak menuntut balas. Yang mereka inginkan hanya satu: pengakuan. Bahwa ini pernah terjadi. Bahwa nyawa yang hilang tak sia-sia.
Karena sejarah yang disembunyikan… akan terus menghantui.

Terima kasih telah mendengarkan Suara Sejarah. Jika kamu merasa episode ini penting, bantu bagikan. Karena hanya dengan mengingat, kita bisa mencegah hal yang sama terulang kembali.
Sampai jumpa di episode selanjutnya.

Lihat Selengkapnya
Google News

Might like this

Ebook Collection